SELAMAT DATANG DI BLOG ICU ICCU RSUD KEBUMEN. TERIMA KASIH

Selasa, 24 Mei 2011

Dugaan Pelanggaran Disiplin Terbanyak Akibat Kurangnya Komunikasi Dokter dan Pasien PDF Print E-mail
Kurangnya komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien menjadi penyebab banyaknya  pengaduan dugaan pelanggaran disiplin (masyarakat menyebutnya dugaan malpraktik) oleh dokter dan dokter gigi, kata Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pada acara temu media di Kantor Kementerian Kesehatan tanggal 20 Mei 2011 yang juga dihadiri  Ketua MKDI, Prof. Dr. Ali Baziad, Sp.OG.
“Akibatnya meski dokter sudah menjalankan tugas sesuai standar pelayanan, standar profesi maupun standar operasional prosedur, namun ada kalanya pasien tetap merasa dirugikan karena hasil terapi tidak sesuai seperti yang diharapkan”, tambahnya.

Hingga Maret 2011, MKDKI telah menangani  127 pengaduan kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter atau dokter gigi. Dari angka tersebut, sekitar 80 persen disebabkan kurangnya komunikasi antara dokter dan pasien. Bila dirinci disiplin ilmu yang diadukan, yang paling banyak adalah dokter umum (48 kasus), dokter ahli bedah (33 kasus), dokter ahli kandungan dan kebidanan (20 kasus), dokter ahli anak (11 kasus), dokter ahli penyakit dalam (10 kasus), dokter ahli paru (4 kasus), dokter ahli syaraf (4 kasus), dokter ahli anestesi (4 kasus), dokter ahli mata (3 kasus), dokter ahli jantung (3 kasus), dokter ahli radiologi (2 kasus), dan masing-masing 1 kasus oleh dokter ahli jiwa, ahli THT dan ahli kulit dan kelamin serta 10 dokter gigi.

Berdasarkan sumber pengaduan, kata Dr. Sabir Alwy, terbanyak disampaikan oleh masyarakat yaitu  119 kasus, disusul oleh Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan 4 kasus, tenaga kesehatan 2 kasus dan masing-masing 1 kasus pengaduan dari institusi pelayanan kesehatan dan pihak asuransi.

Menurut Dr. Sabir Alwy, keterampilan dokter dalam menyampaikan informasi menjadi kunci dalam situasi semacam ini. Jika dokter tidak cakap berkomunikasi, maka yang terjadi adalah kesalahpahaman yang berbuntut pada pengaduan oleh pasien baik ke MKDKI ataupun langsung ke aparat  hukum.

"Dalam satu kasus, bayi meninggal di ruang Neonatus Intensive Care Unit (NICU). Dokter hanya menyampaikan kepada pasien telah terjadi kekurangan oksigen, sehingga keluarga pasien tidak terima. Padahal maksud si dokter adalah ketidakmampuan paru-paru si bayi untuk menerima oksigen," ungkap  Dr. Sabir Alwy, SH, MH.

Seandainya yang terjadi adalah pasokan oksigen di ruang NICU habis, maka MKDKI bisa menilainya sebagai pelanggaran disiplin sehingga dokter yang bersangkutan bisa dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) sampai dengan mengikuti pendidikan/pelatihan ulang atau reschooling. Namun karena yang terjadi hanya kurang komunikasi, MKDKI hanya akan memberikan teguran dan pembinaan.

Dr. Sabir menambahkan, 80 persen pengaduan yang diterima MKDKI berawal dari kondisi gagalnya komunikasi ini. Tak heran dari 42 pengaduan yang sudah selesai ditangani MKDKI, hanya sekitar 50 persen yang diputuskan sebagai pelanggaran disiplin oleh dokter atau dokter gigi.

Sebaliknya menurut Dr. Sabir, kadang-kadang pasien tidak mempermasalahkan hasil terapi yang tidak memuaskan ketika dokternya pandai berkomunikasi meski ada kemungkinan terjadi pelanggaran disiplin. Hanya saja karena pasien tidak melapor, angkanya tidak pernah terpantau oleh MKDKI.
Sesuai tugas yang diatur Undang-undang, MKDKI hanya menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin yang diajukan. MKDKI sifatnya pasif, jadi kalau tidak ada laporan dari masyarakat maka MKDI tidak dapat menerapkan  sanksi.

“Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI. Namun pada pelaksanaannya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran disiplin, ujar Dr. Sabir Alwy.

Sanksi

Terhadap dokter yang terbukti melanggar disiplin, MKDKI bisa menjatuhkan sanksi disiplin sesuai derajat kesalahannya. Mulai yang paling ringan berupa teguran, kewajiban untuk menempuh pendidikan ulang hingga pencabutan izin secara permanen.

Namun diakui oleh Dr. Sabir, hingga saat ini MKDKI belum pernah sekalipun menjatuhkan sanksi pencabutan izin secara permanen. Menurutnya, fungsi MKDKI adalah untuk pembinaan sehingga sanksi terberat hanya diberikan jika dokter yang melanggar dinilai sudah tidak mungkin dibina.

Dari sisi pembinaan, Dr. Sabir menilai MKDKI cukup berhasil menjalankan fungsinya. Terbukti dari sekian kasus yang diputuskan bersalah dan mendapatkan sanksi, belum pernah ada pelanggaran berulang atau dilakukan oleh dokter yang sama untuk kedua kalinya.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga yang berwenang untuk  menentukan ada dan tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.

Dr. Sabir Alwy, SH, MH menambahkan kesalahan berdasarkan aturan hukum ada dua yaitu pelanggaran dan kesengajaan. Namun MKDKI hanya menangani pelanggaran yang berkaitan dengan standar pelayanan, standar profesi dan standar operasional prosedur praktik kedokteran.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, PTRC: 021-500567, atau alamat e-mail : puskom.publik@yahoo.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it ; puskom.publik@yahoo.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , info@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it ; kontak@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .

Sabtu, 21 Mei 2011

RUMAH SAKIT BOLEH BERIKLAN PDF Print E-mail
Fasilitas kesehatan yang dimiliki Pemerintah maupun swasta boleh memasang iklan atau publikasi pelayanan kesehatan di media cetak, media elektronik, dan media luar dalam bentuk berita, banner,  tulisan berjalan, artikel, atau features. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.1787/Menkes/Per/XII/2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan tanggal 14 Desember 2010.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK), dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS dalam temu media dengan topik Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan serta Pengembangan Program Keperawatan di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Komunikasi Publik, 6 Mei 2011 di Jakarta.


Dalam beriklan, fasilitas pelayanan kesehatan harus memperhatikan etika iklan dan publikasi yang diatur dalam kode etik rumah sakit Indonesia, kode etik masing-masing tenaga kesehatan, kode etik pariwara, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu dalam beriklan, harus memuat data dan fakta yang akurat, berbasis bukti, informatif, edukatif dan bertanggungjawab serta mencantumkan nama dan alamat fasilitas pelayanan kesehatan dengan tanggal produksi wajib. Ruang lingkup pengaturan ini meliputi iklan dan publikasi pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan tradisional dan pengobatan komplementer-alternatif.

Dirjen BUK menambahkan iklan dan publikasi yang dilarang adalah yang bersifat menyerang atau pamer dengan merendahkan kehormatan dan profesi tenaga kesehatan, pemberian informasi yang tidak benar/palsu dan menyesatkan, pengenalan metode, obat, dan teknologi pelayanan kesehatan yang belum diterima oleh masyarakat kedokteran karena manfaat dan keamanannya masih diragukan dan belum terbukti, iklan pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan yang tidak berlokasi di Indonesia, iklan pelayanan kesehatan yang tidak memiliki izin.

Selain itu, dalam beriklan juga dilarang mengiklankan susu formula dan zat adiktif, obat keras, psikotropika dan narkotika, pemberian testimoni, dan penggunaan gelar akademis dan sebutan profesi di bidang kesehatan.

“Tenaga kesehatan juga dilarang mengiklankan atau menjadi model iklan obat, alat kesehatan, perbekalan kesehatan, dan fasilitas pelayanan kesehatan kecuali dalam iklan layanan masyarakat. Namun tenaga kesehatan dapat melakukan publikasi atas pelayanan kesehatan dan penelitian kesehatan dalam majalah kesehatan atau forum ilmiah untuk lingkungan profesi,” ujar Dirjen BUK.

Untuk membina, mengawasi dan melakukan penilaian iklan dan publikasi pelayanan kesehatan, Menteri Kesehatan membentuk Tim Penilaian dan Pengawasan Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan di lingkungan Kementerian Kesehatan sebelum dan setelah ditayangkan iklan dan publikasi tersebut.

Berdasarkan penilaian tersebut, apabila iklan dan publikasi melanggar peraturan maka tim dapat memerintahkan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan untuk mengubah, menarik, menghilangkan atau menghentikan iklan dalam jangka waktu paling lama 7 hari kerja.

Jika dalam 7 hari pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tidak mengubah, menarik, menghilangkan atau menghentikan iklan yang melanggar maka dikenakan tindakan administratif yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari kerja.

Tindakan administratif berupa pencabutan surat izin operasional/surat izin praktik/surat izin kerja/surat izin profesi untuk sementara waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan pencabutan surat izin operasional/surat izin praktik/surat izin kerja/surat izin profesi untuk selamanya.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , info@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it , kontak@depkes.go.idThis e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it .